Loading...
Senin, 10 Maret 2014

MENGAPA DISEBUT “RABU ABU”?

sumber : katolisitas.org
Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka “40″ selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah (lih. Kel 34:28), demikian pula Nabi Elia (lih. 1 raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya (lih. Mat 4:2).

1. Mengapa hari Rabu?

Nah, Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.

2. Mengapa Rabu “Abu”?

Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6). Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah (Lih. Kej 2:7), dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Romo, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (you are dust, and to dust you shall return).”

3. Tradisi Ambrosian

Namun demikian, ada tradisi Ambrosian yang diterapkan di beberapa keuskupan di Italia, yang menghitung Masa Prapaskah selama 6 minggu, termasuk hari Minggunya, di mana kemudian hari Jumat Agung dan Sabtu Sucinya tidak diadakan perayaan Ekaristi, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.

-----------------------------------

HARI RABU ABUKU TANPA ABU  (CERITA LAIN)


Hari ini untuk pertama kalinya adalah Rabu Abu tanpa abu bagiku. Pagi-pagi aku dan suamiku bangun untuk bisa merayakan misa Rabu Abu di gereja Santa Barbara di dekat rumah. Seperti hari-hari yang lain, misa hari ini dihadiri tidak lebih dari empat puluhan umat.  Setelah Homili dan bahkan Komuni selesai, semakin jelas bagi kami bahwa di gereja di Milan tempat kami bermukim ini tidak ada pembagian salib abu di hari Rabu Abu.  Aku dan suamiku berpisah di halaman gereja karena ia harus ke kantor dan aku sendiri melangkah pelan kembali ke arah rumah kami. Cuaca menjelang berakhirnya musim dingin menuju datangnya musim semi di hari-hari ini sangat cerah. Matahari tidak pernah lupa untuk mampir di langit yang biru menghamburkan cahayanya yang hangat dan ceria. Sambil menikmati pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan yang belum mulai berdaun kembali, aku setengah melamun masih memikirkan absen-nya abu di perayaan misa yang baru saja kuhadiri. Walaupun tidak ada abu, hari-hari di Milan saat musim dingin yang hampir berlalu ini begitu akrab dengan warna abu-abu. Tidak hanya pepohonan yang tidak berdaun dan hanya menampilkan batang dan rantingnya yang berwarna kelabu, tetapi juga pakaian musim dingin orang-orang dimanapun aku berjumpa selalu bernuansa abu-abu atau hitam dan coklat tua. Belum lagi sering absen-nya matahari karena selalu tertutup awan tebal atau hujan salju yang renyai. Mungkin orang di sini sudah kenyang dengan warna abu di musim dingin sehingga tidak merasa perlu adanya abu di hari Rabu Abu, pikirku mencoba bercanda dengan diri sendiri. Teringat saat pelajaran menggambar di sekolah dulu, aku bisa mendapatkan warna kelabu dengan mencampurkan warna putih dengan warna hitam. Semakin banyak warna hitam yang aku campurkan, semakin gelap warna kelabu yang dihasilkan.  Pergulatan batin manusia juga selalu ditarik ke dua arah putih dan hitam,  negatif dan positif, mudah dan sulit, sukacita dan dukacita, dingin dan ramah, optimis dan pesimis, rajin dan malas, pelit dan murah hati.  Walau tentang baik dan buruk kadang tidak selalu bisa diambil batas yang jelas. Banyak hal berada di wilayah abu-abu. Mungkin karena kita tidak pernah sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih tetapi selalunya komposisi dari keduanya.
Dalam masa masa berpantang dan berpuasa ini warna abu mengingatkanku untuk mengatur keseimbangan komposisi hitam dan putih yang menjadi pilihan-pilihanku setiap hari. Warna-warna hitam kegelisahan, iri hati, kemalasan, kesombongan, kehilangan harapan, diimbangi dengan warna-warna cerah dari kemurahan hati, belaskasihan, solidaritas, harapan, kasih pengampunan dan pengorbanan. Pergulatanku setiap hari untuk memadukan dua warna yang berbeda ini akan menghasilkan komposisi warna yang akhirnya akan mewarnai seluruh hari-hariku dan relasiku dengan sesama dan Tuhan.  Semuanya kembali kepada diriku. Kadang memilih untuk mencampurkan lebih banyak warna putih sangat berat dan ‘makan hati’ , tetapi aku teringat kepada perumpamaan yang diberikan Yesus kepada para murid, “Demikian pula hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”. Bagaimanapun beratnya, keputusanku dan kesadaranku untuk mencampurkan lebih banyak warna putih setiap hari mengantarkanku kepada harta mutiara yang terindah yang tersembunyi yang hanya bisa ditemukan dalam warna abu-abu muda yang tidak terlalu banyak warna hitamnya.
Beberapa waktu setelah hari itu, baru aku mengetahui bahwa pemberian abu di gereja Katolik di Milan ternyata dilakukan pada hari Minggu pertama masa PraPaskah dengan cara penaburan abu di ubun-ubun kepala. Akhirnya semua menjadi jelas bagiku setelah sahabatku, Shirley Hadisandjaja, seorang Katolik yang menikah dengan pria Italia dan bermukim di Milan, menjelaskan hal berikut ini:
Semua paroki di bawah Keuskupan Agung Milan memakai ritus Katolik Ambrosian. Keuskupan Agung Milan sering pula disebut Keskupan Ambrosian. Keuskupan Ambrosian ini mengepalai paroki di propinsi Milano, Varese, Lecco, sebagian paroki di propinsi Como dan beberapa paroki di Bergamo dan Pavia. Dinamakan Ambrosian karena mengambil nama dari pendiri ritus ini dan Santo Pelindungnya yaitu Santo Ambrosius, yang sangat dihormati dan dicintai dan merupakan salah satu Santo Pelindung terpenting di Negara Italia.
Ritus Ambrosian sendiri adalah ritus Liturgi dari Gereja Katolik Milanese, yang berbeda dengan ritus Gereja Katolik Roma. Ritus Ambrosian berasal dari tradisi yang kuat dan masuk ke dalam liturgia Milanese. Ritus Ambrosian ini sebelum pengesahannya, telah menderita dari berbagai kritik akan keberadaannya, meskipun para pengikut Santo Ambrosius ini menyatakan setia terhadap Gereja Roma. Ritus Ambrosian menerima pengesahan dan pengakuannya dari Gereja Katolik Roma pada Konsili di Trento, di mana salah satu tokoh dari Konsili Trento adalah Santo Carlo Borromeo (St. Carolus Borromeus), seorang Santo Milanese.
Perayaan Misa dalam ritus Ambrosian menghadirkan elemen yang sama dengan Misa ritus Roma, namun beberapa diantaranya ditempatkan dalam urutan berbeda, misalnya Salam Damai tidak dilakukan sesaat sebelum penerimaan Komuni, melainkan dilakukan setelah selesai Liturgi Sabda, sebelum persiapan Kolekte. Perbedaan kecil lainnya adalah tidak adanya Agnus Dei (Anak Domba Allah) dan invokasi Kyrie Eleison (Tuhan Kasihanilah) tanpa Christe Eleison yang ada dalam ritus Roma. Hari Sabtu bagi ritus Ambrosian dinyatakan sebagai Hari Raya (bersamaan dengan Hari Minggu), yang melanjutkan tradisi Yahudi.
Karakter liturgia Ambrosian adalah paham Cristocentrismo (berpusat kepada Kristus) yang kuat, yang lahir dari perjuangan menentang heresy Ariana pada jaman Santo Ambrosius, dan kesamaan dengan liturgi oriental, yang diterapkan oleh Santo Ambrosius sendiri sebagai contoh/model bagi Gereja Milanese, namun tetap mengambil aturan-aturan dari Gereja Roma sebagai referensi.
Masa Adven dari ritus Ambrosian adalah 6 minggu dibanding dengan ritus Roma yang 4 minggu. Sedangkan Masa PraPaskah di mulai pada hari Minggu setelah “Rabu Abu” dengan pemberian abu di akhir Misa.
Permulaan PraPaskah dan pemberian abu pada hari Minggu ini membedakan masa dari karnival “baru” (Roma) yang diakhiri dengan “Selasa gemuk” (Mardi Gras) dan karnival “kuno” (Ambrosian) yang berakhir beberapa hari kemudian.
Dalam ritus Roma, hari Minggu tidak dianggap sebagai hari bertobat/penitensi, dan oleh karenanya masa PraPaskah menjadi lebih panjang dan dimulai lebih awal. Sedangkan dalam ritus Ambrosian, hari Minggu dianggap sebagai hari penitensi.
Berbeda pula dalam konsepsi Jumat Agung: bagi ritus Ambrosian, Jumat Agung adalah hari libur Ekaristi, di mana tidak dapat dirayakan Misa, demi menjalankan hidup dengan cara radikal sengsara Kristus, sama halnya dengan Hari Sabtu Suci, demi merayakan dengan lebih khidmat Perayaan Paskah.
Pada hari-hari Minggu masa PraPaskah, sebagaimana tradisi Ambrosian, digarisbawahi pembaptisan, yang mempersiapkan dan membawa katekumen kepada Pembaptisan pada Hari Paskah, dan membimbing umat yang dibaptis untuk menemukan kembali arti dari Sakramen ini, yang mana dalam Kristus yang wafat dan bangkit menjadi anak-anak Allah.
Jadi dalam ritus Roma masa PraPaskah adalah 6 minggu (ditambah beberapa hari yang mana hari Minggu tidak dihitung) dan Masa Adven adalah 4 minggu, sementara dalam ritus Ambrosian semua hari dalam seminggu dihitung sebagai Masa PraPaskah dan baik Masa PraPaskah dan Adven adalah 6 minggu.
Sebuah elemen fundamental dari ritus Ambrosian juga terbentuk dalam lagu “ambrosian”. Adalah Santo Ambrosius sendiri yang pada pertama kalinya dalam liturgia Gereja, pada tahun 386 After Christ memperkenalkan penggunaan lagu-lagu yang bukan berasal dari Mazmur.
Inovasinya ini dengan cepat tersebar ke dalam gereja-gereja dari ritus lainnya. Seperti ritus Gregorian, ritus Ambrosian juga dimodifikasi dalam perjalanan abad dari “penemuan” nya oleh santo Ambrosius, bahkan sampai saat ini dinyatakan sebagai organ musik barat paling antik. Dan untuk memelihara warisan ini telah didirikan institusi PIAMS (Lembaga Musik Kudus Ambrosian) yang bekerjasama dengan Lembaga Musik Kudus Kepausan di Roma. Ritus Ambrosian yang antik dan khidmat ini telah ikut memperkaya Liturgia Gereja Katolik.

0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP