Kota Blitar terletak di kaki gunung Kelud, berhawa cukup sejuk.
Gunung Kelud adalah gunung berapi, maka tanah di sekitarnya pastilah sangat subur. Wilayah disekitarnya, sejak zaman Belanda telah dikelola sebagai tanah perkebunan kopi, cengkeh, teh atau coklat. Bahkan Blitar oleh Belanda dijadikan sebagai pusat perkebunan untuk Blitar dan Kediri.
Sebagai pusat pengelolaan perkebunan berarti juga menjadi pusat perekonomian, maka selain di Blitar telah ada pemerintahan Kabupaten pada sekitar tahun 1906 dibentuk pula pemerintah kota (cominte) yang kemudian disebut kotapraja, kotamadya. Bahkan pemerintahan Karesidenan pernah pula berada di Blitar.
Kota Blitar yang berhawa sejuk dan subur itu pernah diluluh lantakkan oleh terjangan lahar Kelud pada sekitar tahun 18… peristiwa itu tentulah meninggalkan trauma bagi masyarakat dan pemerintahnya.
Sekitar tahun 1928 Gereja Katolik Prefektur Apostolik Surabaya menetapkan Blitar sebagai paroki dengan mulai membangun gedung Gereja dan menyerahkan pengelolaan paroki tersebut kepada Imam-imam Konggregasi Misi (CM). Semula lokasi gereja diupayakan berada di wilayah Blitar bagian barat (sekarang wilayah Paroki Santa Maria), namun dengan berbagai pertimbangan terutama keamanan dari ancaman Kelud, ditetapkanlah lokasi yang sekarang menjadi gereja Santo Yusup di Jl. Diponegoro.
Semula dipilihnya wilayah Blitar Barat karena dinilai memiliki potensi perkembangan umat yang cukup besar, pusat kota dan pusat perdagangan ada di wilayah itu, populasi penduduk juga terkonsentrasi di situ. Maka meski gedung gereja tidak jadi dibangun di situ.
Pada tahun 1938 Pastor C. Schoenmaker, CM menyewa bekas gudang rokok milik Sdr. Sie Boen Hing yang terletak di Jl. Cemara no. 5. Gudang itu dibenahi sehingga layak untuk dijadikan kapel/gereja dengan nama St. THEOFILUS. Tetapi pada saat Jepang masuk ke Blitar kapel/gereja tersebut kembali dijadikan gudang. Meskipun demikian kegiatan ibadat tetap terus berjalan di wilayah Blitar barat dengan tempat berpindah-pindah di rumah-rumah umat. Bahkan konon gereja sempat membeli tanah yang belokasi di tengan kota, di Jl. Merdeka. Dokumen dan status tanah tersebut hingga sekarang tidak jelas.
Pada tahun 1957 Pastor H. Veel, CM membeli tanah yang terletak di Jl. Cepaka no. 8. Beliau bekerjasama dengan organisasi masyarakat Tionghwa yang bernama Tjoe Tjong Hwee membangun aula ditempat itu. Pada harihari biasa gedung itu digunakan untuk bulutangkis dan pada hari Minggu digunakan sebagai kapel. Pada saaat itu di wilayah Blitar barat juga telah dirintis berdirinya sekolah TK, dengan tempat berpindah-pindah. Guru yang pertama untuk TK tersebut adalah Ibu Vin (Ibu Veronika Tini Andriani atau Ibu Rahmat Santoso) yang beralamat di Jl. Tanjung no. 38.
Kemudian karena TK makin berkembang, digunakanlah bangunan aula itu sebagai sekolahan dan gurunya ditambah yaitu nIbu Kinarsih. Pengelolaan TK tersebut diserahkan atau dimintakan bantuan kepada Suster-suster SSpS, maka Tk itu kemudia disebut TK cabang St. Maria, karena sekolah-sekolah milik Suster SSpS bernama St. Maria.
Inilkah cikal bakal sekolah yang sekarang menjadi TK, SDK dan SMPK “Yos Sudarso”.
Bersama dangan berkembangnya sekolah jumlah umat juga berkembang dengan pesat, oleh sebab itu pada tahun 1963 Pastor J. van Steen, CM dibangunlah gedung Gereja yang selesai tahun 1964 dan diberkati oleh Uskup Surabaya Mgr. J. Klooster, CM dengan nama “Gereja St. Maria”.
Pastor Paroki yang pertama adalah Pastor H. Niesen, CM, beliau memulai tugasnya pada tahun 1967 hingga tahun 1971. Meski sebagai Pastor Paroki beliau tidak pernah tinggal di St. Maria, karena disamping belum memiliki rumah pastoran, domus CM komunitas Blitar berada di St. Yusup.
Tahun 1971-1974 Pastor Benedictus Martokusumo, CM bertugas sebagai pastor paroki St. Maria ke dua. Beliau sempat berusaha membangun pastoran. Sebagai langkah awal beliau menampung siswa dari stasi untuk mengawasi gedung Gereja, angkatan muda banyak digerakkan dengan berbagai kegiatan, membuat lilin, membentuk grup band sampai mendirikan studio radio “RAMECHO”. Namun sayang pastoran belum berhasil dibangun. Beliau juga tetap tinggal di St. Yusup. Sepeninggal Pastor B. Martokusumo, CM semua aktifitaspun juga ikut padam.
Tahun 1974-1975 pastor paroki yang ke tiga adalah Romo H. Windrich, Pr. Pada tahun ini tidak banyak perkembangan terjadi.
Tahun 1975-1986 Pastor Johanes Maria Antonius Bartels, CM menjabat pastor Paroki St. Maria yang ke empat. Pada masa inilah banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang signifikan. Aula yang semula adalah gedung gereja, yang kemudian dijadikan ruang sekolah, sebagian diambil kembali. Gudang sekolah bekas studio Radio “RAMECHO”, diberesihkan dan dijadikan pastoran.
Tahun 1976 dengan kondisi yang amat kurang layak sebagai tempat tinggal pastor, masih diberi skat untuk dijadikan kantor paroki. Dan pada tahun itu diangkatlah FX. Sumadi sebagai karyawan pertama sebagai pembantu beliau untuk menangani administrasi paroki. Dan pada tahun itu pulalah Paroki St. Maria baru mulai memisahkan diri secara administrative dan ekonomis dari Paroki St. Yusup.
Tahun 1983 Paulus Tur Subekti adalah Katekis paroki yang pertama. Sejak lama sebelum itu, banyak pula tokoh-tokoh yang telah berjuang sebagai Katekis sukarelawan melaIaksanakan tugas pastoral.
Semula meski St. Maria adalah sebuah paroki, namun Dewan Parokinya digabungkan dalam Dewan Paroki St. Yusup. Maka Pastor Bartels pada tahun 1975-1976 membentuk embrio Dewan Paroki dengan sebutan P3 (Penasehat Pastor Paroki) dengan anggota Bp. J.F. Armayn, Bp. J.A. Mochtar dan Bp. I.C. Soedarman (ketiganya almarhum). Tidak ada Kring, Lingkungan atau wilayah, maka dibentuk pulalah Lingkungan diwilayah ini menjadi 3(tiga); Lingkungan Kepanjenkidul, Lingkungan Karangsari, dan Lingkungan Sukorejo/Balapan, sesuai dari domisili dan perwakilan ketiga anggota P3.
Tidak lama setelah itu lahirlah Dewan Paroki yang pertama yang diketuai oleh Bp. Ign. Atmo Soewito. Sejak itulah siklus kepengurusan Dewan Paroki berjalan secara berkesinambungan hingga sekarang.
Pembangunan fisik gereja dan pastoran berjalan sepanjang tahun tiada henti. Apa lagi pembangunan dan penggembalaan umat. Komunitas Basis Gereja terus dikembangkan dan dimantapkan, pelajaran agama dan pendalaman iman diselenggarakan dimana-mana, pertumbuhan umat sangat pesat. Demikianpun pertumbuhan panggilan calon imam, biarawan dan biarawati.
Tahun 1986-1992 Pastor Paroki dijabat oleh Pastor W.P. Janssen, CM. Beliau sebagai Pastor Paroki kelima. Beliau adalah sebuah figure yang perfeksionis; “semua harus ada tempatnya” itulah salah satu semboyannya. Begitu masuk ke Paroki St. Maria Pastor W.P. Janssen, CM berjuang keras membangun gedung pastoran.
Tahun 1989 pastoran berhasil diselesaikan.
Wilayah paroki yang semula hanya 7 (tujuh) lingkungan dan 2 (dua) stasi (Ngadirejo dan Srengat), bertambah menjadi 4 (empat) stasi (Ngadirejo, Srengat, Wonodadi dan Sumberingin). Kemudian sejak 10 Desember 1993, stasi bertambah lagi menjadi 13, yakni; Ngadirejo, Srengat, Wonodadi, Sumberingin, Maliran, Gembongan, Bacem, Rejoso, Jatilengger, Sanandayu, Sumberejo, Suruhwadang dan Kademangan. (selanjutnya dapat dibaca di halaman sebelum profil Stasi / Lingkungan)
Perjuangan beliau juga sangat istimewa dalam penggembalaan umat. Pastor W.P. Janssen, CM sangat rajin melakukan kunjungan kepada umat, boleh dikata tiada hari tanpa kunjungan, pagi ke Stasi dan sore ke Lingkungan. Sehingga banyak domba-domba yang hilang atau tersesat berhasil ditemukan. Selain itu dengan kepercayaan yang besar beliau banyak mendelegasikan pelayanan pastoral dan rohani/liturgi kepada umat. Mereka dibekali dengan berbagai ilmu, terutama Kitab Suci dan Liturgi. Pastor pembantu, katekis, Katekis praktekan, Frater pastoral, tokoh umat (belum ada ASIM) ditugaskan untuk memimpin idadat di gereja dan stasi. Khotbah di paroki pun digilir antara Romo sendiri dangan Frater demikianpun di stasi, semua pamong umat harus selalu mempersiapkan homili. Maka setiap hari Senin pagi dilaksanakan pendalaman Kitab Suci untuk para pemimpin umat dengan materi sesuai kalender liturgi.
Untuk pendalaman iman umat di luar liturgi, Pastor W.P. Janssen, CM selalu membuat tema-tema tertentu sesuai dengan arah dan strategi penggembalaan umat. Setiap hari selasa para pendamping dikumpulkan untuk mempelajari materi pendalaman iman.
Pola atau metode yang digunakan adalah simulasi. Setiap pendalaman iman dilaksanakan di lingkungan atau stasi akan selalu hadir secara acak untuk memantaunya. Beliau tidak pernah berkenan untuk langsung memberikan materi kepada umat. Pada pertemuan Selasa berikutnya dilaksanakan evaluasi. Tradisi ini berjalan sampai sekarang, meski polanya telah banyak berubah.
Dengan semakin lengkap dan sempurnanya fasilitas dan system di Paroki Santa Maria, semakin mantap pula eksistensinya. Yang semula tradisinya pastor paroki selalu bekerja seorang diri, sejak masa Pastor W.P. Janssen, CM telah ada pastor pembantu di paroki. Pastor-pastor yang pernah berkeja bersama dengan Pastor W.P. Janssen, CM antara lain, Pastor Anton de Brito, CM dan Pastor W. Murdani, CM.
Tahun 1993 (tepatnya 28 Februari) Pastor W.P. Janssen, CM wafat, maka Pastor Willibrordus Murdani, CM yang saat itu bertugas sebagai pastor pembantu, diangkat menjadi pastor paroki St. Maria yang ke enam, dengan SK Uskup Surabaya nomor: 307/G.113/IX/93 tanggal 17 September 1993.
Selama periode Pastor Willibrordus Murdani sebagai Pastor Kepala Paroki, beliau pernah bekerjasama dengan Rm. Yoseph Suhartono, Pr. Yang ber SK Uskup Surabaya nomor: 310/G.113/IX/93 tanggal 17 September 1993, kemudian Rm. Yoseph Suhartono, Pr pindah ke Bojonegoro posisinya digantikan oleh Pastor Timotius Karyono SN, CM dengan SK Uskup Surabaya nomor: 468/G.113/VII/95 tanggal 21 Agustus 1995, masing-masing sebagai Pastor pembantu.
Memang romo-romo tersebut sangat energik, kreatif dan inovatif. Namun karena sistem dan kelembagaan paroki ini sudah memiliki bentuk dan jati dirinya, perkembangan yang terjadi lebih bersifat kwalitatif bukan lagi kwantitatif, kecuali dalam hal pertumbuhan jumlah umat.
Dengan semangat gotong royong dari berbagai pihak, telah dilaksanakan beberapa pembangunan fisik yang cukup monumental, diantaranya; renovasi dan perluasan gedung gereja yang diresmikan oleh Uskup Surabaya Mgr. A.J. Dibjo Karyono, Pr. pada tanggal 29 Mei 1994,
Pada tahun 1996 dibangun menara lonceng, Januari 1998 dimulainya pembangunan gedung paroki.
Tahun 1998 Pastor Paroki St. Maria dijabat oleh Pastor F.X. Wartadi, CM, beliau figure yang sangat halus, sesuai dengan asalnya dari Wedi, Klaten, Jawa Tengah (23 Desember 1938), namun sangat disiplin. Beliau sebagai Pastor Paroki ketujuh.
Gaya kepemimpinan beliau diwarnai dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”, pas dengan pengalaman beliau yang berbasis pendidikan. Sebelum bertugas di St. Maria beliau pernah bertugas sebagai pembimbing para Frater Novisiat CM di Candi Badut, Malang.
Pastor F.X. Wartadi, CM, yang didampingi Pastor T. Karyono SN, CM, berhasil melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan gedung paroki, dan pada tanggal 30 Agustus 1998 Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr. Berkenan memberkati dan meresmikan Gedung Paroki dan sekaligus melantik Pengurus Dewan Paroki, periode tahun 1998 hingga tahun 2001.
Bapa Uskup berpesan:
“agar menjadi bagian dari pelayanan Gereja, maka sebaiknya gedung ini
terbuka dapat digunakan oleh masyarakat luas. Jangan eksklusif hanya untuk
umat katolik saja.”
Pada tahun 1999 Pastor T. Karyono SN, CM pindah tugas, dan digantikan oleh Pastor Petrus Santoso Budoyo, CM menggantikan posisi sebagai pastor pembantu. Pastor Petrus Santoso Budoyo, CM bertugas di Paroki St. Maria hanya beberapa bulan (tahun 1999 – 2000).
Pada pertengahan tahun 2000 setelah Pastor P. Santoso Budoyo, CM meninggalkan Blitar, digantikan oleh Pastor Juventius Haryono, CM, bersama Pastor FX. Wartadi, CM sebagai Pastor kepala Paroki.
Pada semester dua tahun 2001 Pastor FX. Wartadi, CM (berkarya dari th. 1998 – 2001) harus meninggalkan Blitar menuju ke Surabaya (pindah ke Paroki St. Vincentius a Paulo Widodaren Surabaya) digantikan Pastor Paroki St. Maria Gresik yaikni Pastor Eligius Rahmat, CM dan bekerja sama dengan teman seangkatannya yakni Pastor Juventius Haryono, CM. Pastor Eligius Rahmat, CM sebagai Pastor Paroki ke delapan.
Setelah beberapa waktu berdampingnya akhirnya pada tahun 2003 Pastor Juventius Haryono, CM harus meninggalkan Paroki St. Maria Blitar (berkarya dari tahun 2000 – tahun 2003) dan digantikan oleh Pastor Laurentius Karsiyanto, CM, dulu beliau bertugas di Paroki Kristus Raja Surabaya. Pastor Laurentius Karsiyanto, CM berdampingan dengan Pastor Eligius Rahmat, CM.
Setelah kehadiran Pastor Laurentius Karsiyanto, CM hadir dibeberapa lama bertugas di Paroki St. Maria banyak tugas yang harus dibereskan, beberapa pembangunan fisik yang cukup monumental, diantaranya:
1. Perluasan area Sendangrejo, membangun Wisma Maria (Domus Marie), yang pemberkatannya pada tanggal 15 Agustus 2005 oleh Romo Vikep, (Rm. Henricus Sairain, Romo Vikep, kevikepan Regio II keuskupan Surabaya) dan diresmikan oleh Walikota Blitar. (selanjutnya baca di sejarah perkembangan Sendangrejo).
2. Renovasi dan perluasan Kapel / Gereja stasi Srengat.
3. Pembangunan Kapel / Gereja di Stasi Suruhwadang dan stasi Sumberingin, pemberkatannya oleh Bapa Uskup Surabaya, Mgr. V. Sutikno Wisaksono, pada tanggal 24 September 2007. Sekaligus hari Paroki, Pelantikan Pengurus Gereja Paroki St. Maria Blitar (pelantikan Dewan Paroki, Pengurus Lingkungan dan Stasi, Asisten Imam dan Pemberkatan Gazebo St. Maria).
* Selain itu juga dibidang Sosial juga beliau mengadakan Beras murah
untuk Keluarga yang kurang beruntung (Satu sak beras 5 kg, umat hanya
membayar separuhnya dari harga pokok).
* Di kalangan pemerintahan Pastor Laurentius Karsiyanto, CM menjadi
anggota FKUB (Forum Kerukunan Umat beragama) dan menduduki
jabatan yang sangat strategis, yakni dibidang Perijinan tempat ibadat.
Diawal tahun 2005 kondisi kesehatan Pastor Rahmat, CM menurun dan harus dirawat di Surabaya, maka tampuk pimpin Paroki St. Maria diserahkan kepada Pastor Karsiyanto.
Tepat pada Misa Jum’at Pertama tgl. 1 April 2005 diadakan Misa serah terima jabatan, dari Pastor Eligius Rahmat, CM yang semula Pastor Kepala Paroki diserahkan kepada Pastor Laurentius Karsiyanto, CM, karena faktor usia dan kesehatan romo Rahmat. Pastor Laurentius Karsiyanto, CM sebagai Pastor Paroki ke sembilan.
Kemudian pada tahun 2006 Pastor Eligius Rahmat, CM pindah ke rumah induk CM di jalan Kepanjen Surabaya. (Pastor Eligius Rahmat, CM berkarya dari tahun 2001 hingga tahun 2006).
Setelah itu datanglah seorang Pastor muda yang baru ditahbiskan pada tanggal 30 Agustus 2006, Pastor Agustinus Garis, CM, beliau sebagai Pastor Pembantu mendamping Pastor Laurentius Karsiyanto, CM. Romo Garis (demikian sebutannya) juga sudah banyak berkarya, walaupun di Paroki St. Maria Blitar hanya beberapa saat (kurang lebih hanya satu tahun). Karya yang telah beliau laksanakan Kepeduliannya di dunia pendidikan terutama di Sekolah Yos. Sudarso dan berhasil melobi para alumnus dan para donator, sehingga pembangunan sekolah (TKK, SDK, SMPK Yos Sudarso) yang sempat terhenti dapat terselesaikan walaupun masih jauh dari sempurna, dan sebagai monumental pembangunan fisik Romo Garis adalah GAZELO ST. MARIA, yang diberkati oleh Bapa Uskup Surabaya, Mgr. V. Sutikno Wisaksono, pada tanggal 24 September 2007.
Pastor Agustinus Garis, CM bertugas di Paroki St. Maria Blitar mulai tahun 2006 hingga bulan Nopember 2007, setelah beliau meninggalkan Paroki St. Maria Pastor Laurentius Karsiyanto, CM bertugas seorang diri dan ada kalanya dibantu para Pastor Pamong Seminari Menengah St. Vinsentius a Paulo Garum
..... ( tunggu kabar lebih lanjut ) ....
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar